Kita sudah sudah tidak asing dengan ungkapan bijak seperti: ‘kenalilah dirimu’, ‘jadilah diri sendiri’, dan ‘hiduplah apa adanya’. Persoalannya banyak diantara kita yang tidak benar-benar paham maksud ungkapan tersebut. Sebagian orang paham maknanya, tetapi tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Menjadi diri sendiri adalah ungkapan yang sudah klise. Makna konotatifnya adalah berani menjalani hidup sesuai dengan keadaan diri yang sebenarnya.
Tidak merasa malu atau minder dengan keadaan fisik yang dimilik: postur tubuh, bentuk hidung, warna kulit, mata, rambut dan lain-lain. Dia tidak butuh ‘polesan’, apalagi ‘topeng’ untuk menutupi keterbatasan dan kekurangan fisiknya untuk membuat orang terkesan.
Dengan kata lain, orang yang telah menjadi dirinya sendiri itu adalah orang yang mau dan senang hidup apa adanya, sebuah ungkapan yang juga sudah sangat klise.
Orang yang telah menjadi dirinya sendiri dan mau hidup apa adanya tidak merasa rendah diri atau hina dengan segala kekurangan finansial yang dia punyai. Dia tidak pernah berusaha mengada-adakan sesuatu yang tidak penting.

Tentang peralatan penunjang aktivitas sehari-hari misalnya, yang dia lihat dan dia jadikan pertimbangan untuk memilikinya adalah fungsinya, bukan merek, tipe, apalagi gengsinya.
Dia jelas butuh pakaian, tetapi dalam pandangannya pakaian itu hanyalah penutup aurat dan pelindung diri dari cuaca, kuman, debu/kotoran. Yang penting pakaian tersebut bersih dan nyaman dikenakan. Tidak penting apa merek dan modelnya (desainnya).
Dia juga mungkin butuh kendaraan, tetapi kendaraan tersebut di matanya hanyalah alat bantu mobilitas agar lebih mudah, cepat dan selamat, bukan simbol kekayaan dan kemewahan untuk meningkatkan gengsi diri dan keluarga. Dia tidak minder mengendarai sepeda motor atau mobil ‘kelas rakyat’ keluaran tahun-tahun lawas.
Untuk jadi diri sendiri itu seseorang butuh keberanian, yaitu berani untuk tampil ‘telanjang’. Untuk bisa hidup apa adanya, selain berani tampil telanjang seseorang juga harus punya kesadaran diri. Yaitu kesadaran akan potensi dan fungsi dirinya. Sadar akan potensi diri artinya tahu kelebihan dan kekurangan diri, sedangkan sadar akan fungsi diri artinya tahu tentang hak dan kejawiban diri.
Orang yang sadar akan potensi dirinya tahu akan kelebihan dan kekurangan dirinya. Dia tidak pernah berpura-pura tahu (sok tahu) tentang sesuatu yang tidak dia ketahui dan tidak dia kuasai.
Dia hanya mengatakan hal-hal yang dia tahu dan pahami dan hanya melakukan pekerjaan yang dia bisa , yang dia kuasai ilmu dan tekniknya. Karena itu, orang yang sadar akan kelebihan dan kekurangan diri itu tidak suka berkomentar apa lagi menyalahkan hasil pekerjaan orang lain yang dia tidak kuasai ilmu dan keterampilannya.
Orang yang sadar akan fungsi dirinya adalah orang tahu akan kewajiban dan tanggung jawab dirinya. Orang yang tahu akan hak dan kewajiban dirinya cenderung tidak banyak menuntut hak. Baginya, hak itu adalah konsekuensi dari kewajiban. Ketika kewajiban telah dilaksanakan maka hak niscaya akan mengiringinya.

Oleh sebab itu, orang-orang telah menjadi diri sendiri dan bisa hidup apa adanya itu, lebih terikat dengan kewajiban tapi tidak melekat dengan hak atau hasilnya. Dia merasa senang dan bahagia jika berhasil menjalakan kewajibannya, tetapi merasa hina mengharapkan imbalannya.
Jadi, orang-orang yang bisa hidup apa adanya itu adalah orang yang suka dan sanggup berbuat baik secara ikhlas dan mensyukuri apapun yang didapat/dimiliki.
Berbuat baik dengan ikhlas artinya berbuat tanpa pamrih. Dia berbuat baik demi kebaikan itu sendiri. Dia tidak berharap balasan apapun dari setiap perbuatan baiknya. Jangankan mendapat balasan materi yang setara, sanjungan, pujian, bahkan ucapan terima kasih-pun bukanlah tujuannya berbuat baik.
Oleh sebab itu orang yang melakukan sesuatu dengan ikhlas tanpa pamrih itu tidak pernah merasa kehilangan apa pun, sebab dia tidak pernah berharap apa-apa dari perbuatan baiknya.
Selain ikhlas berbuat, orang-orang yang hidup apa adanya itu selalu bersyukur atas segala hal yang dia miliki. Baginya, nilai harta bukan ditentukan oleh seberapa banyak materi yang terkumpul/dimiliki, melainkan seberapa banyak dari materi itu yang bisa dimanfaatkan.
Bagi orang-orang ini urip iku mung mampir ngombe—ungkapan Jawa yang terjemahannya “hidup itu hanyalah persinggahan numpang minum”. Hidup itu sementara dan singkat (fana). Semua kita (manusia) terlahir telanjang dan kelak mati pun dalam keadaan telanjang tanpa bisa membawa apa-apa.
Lantas Bagaimana Caranya Agar Bisa Menjadi Diri Sendiri dan Hidup Apa Adanya itu?

Itulah pentingnya mengenali diri sendiri. Sayangnya, frasa ‘mengenal diri’ itu, meskipun sama klisenya dengan ungkapan ‘jadilah diri sendiri’ dan ‘hiduplah apa adanya’ masih banyak diantara kita yang tidak paham makna dan implementasinya.
Mengenal diri sendiri bisa diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi asal-usul diri (keluarga), sifat, watak, karakter, bakat, atau selera yang dimiliki. Untuk apa hal-hal tersebut kita inventarisir pada diri kita? Untuk menjawab pertanyaan (keluhan) mengapa peruntungan hidup kita berbeda dengan orang lain.
Misalnya, kita bertanya mengapa teman sekolah/kuliah kita bisa cepat (mudah) mendapat kerja, sementara kita masih menganggur? Mengapa usaha teman lebih cepat berkembang sementara usaha kita stagnan dan terancam bangkrut? Sementara kita tahu bahwa prestasi akademik teman tadi semasa sekolah/kuliah tidak terlalu bagus-bagus amat, bahkan jauh di bawah kita.
Akibatnya kita menjadi iri, cemburu, dan berpikiran negatif tentang teman tadi, alih-laih ikut senang dan bangga atas keberhasilannya.
Untuk itulah kita perlu secara adil melihat kelebihan orang dan kekurangan kita. Lihat dan bandingkanlah asal-usul keluarga teman tadi.
Samakah tingkat pendidikan dan profesi orang tua teman yang kita cemburui tadi dengan pendidikan dan profesi orang tua kita? Samakah koneksi yang dimiliki keluarga si-teman dengan koneksi yang dimliki keluarga kita?
Jika asal-asul keluarga teman yang sukes tadi memang memiliki status social yang lebih tinggi dan koneksi yang lebih luas daripada keluarga (orang tua) kita maka sadari dan terimalah bahwa dia (si teman) memang lebih baik daripada kita, sehingga wajar jika dia bisa lebih sukses daripada kita.
Berikutnya, jangan pula abaikan sifat, karakter, dan dan penampilan si teman yang sukses tadi dengan diri kita. Bandingkan misalnya tinggi dan berat badan kita dengan dia, warna dan bentuk rambut, bentuk hidung, bibir dan dagu kita dengan dia.
Jika semua sifat yang dimiliki teman kita itu memang lebih memenuhi standar kecantikan/ketampanan yang berlaku umum, maka kita pun harus sadar, menerima, dan mengakui bahwa secara fisik dirinya memang lebih baik daripada kita.
Selanjutnya, tengoklah perbedaan watak dan emosi antara kita dengan si teman. Samakah kemurahan senyum, keramah-tamahan, kelembutan kata, kelenturan bahasa tubuh kita dengan dia. Jika ternyata dia lebih murah senyum ketimbang kita (yang judes), lebih pandai bertutur kata yang lembut dan tertata, maka terima dan akuilah bahwa diri kita memang tidak sebaik dirinya. Wajar jika kita tidak sesukses dirinya dalam karir atau bisnis.